Biografi Perjalanan Hidup Sang Visioner B. J. Habibie, Sang Jenius yang Menginspirasi

Perjalanan Hidup Bacharuddin Jusuf Habibie


Nama lengkap : Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie
Tanggal lahir : 25 Juni 1936
Tempat lahir : Afdeeling ParepareCelebes, ( Parepare, Sulawesi Selatan, Indonesia )
Meninggal : 11 September 2019 ( Umur 83 Tahun ) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan : Indonesia, Jerman ( Kehormatan )
Almamater : Universitas Indonesia Bandung, Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen (RWTH - Jerman)
Orang tua : Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo
Anak keempat dari delapan bersaudara
Istri : Hasri Ainun Habibie
Anak : Ilham Akbar dan Thareq Kemal

B. J. Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Sebelumnya, B.J. Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-7, dan salah satu putra terbaik bangsa Indonesia.

Seorang ilmuwan muda yang namanya harum di dalam dan di luar negeri. Dengan prestasi dan karyanya. Beliau dijuluki Mr. Crack dari Parepare.

Beliau dikenal juga sebagai bapak pesawat karena berhasil menciptakan pesawat pertama Indonesia. Ia adalah seorang anak bangsa yang telah menorehkan tinta emasnya di bidang penerbangan dan ilmu fisika kepada Dunia.

Tentu saja prestasi yang ia raih tidaklah dengan hanya bersantai saja. Semua itu adalah hasil perjuangannya yang telah ia siapkan dari awal hidupnya.

Kali ini. Saya akan menceritakan tentang perjuangan hidup B. J. Habibie ketika masih sangat muda, atau lebih dikenal dengan nama Rudy, yang diambil dari kata Bacharudin.

 

 

“Foto Ketika Rudy Habibie Berhasil Membuat Pesawat Terbang pertamanya pada umur 18 tahun sewaktu berkuliah di jerman”


Ia tumbuh di sebuah kota kecil bernama Parepare, Sulawesi Selatan, ia merupakan anak yang suka mengeksplorasi tiap - tiap masalah yang sedang ia hadapi.

Tak banyak yang tahu bahwa cita-cita membangun industri pesawat terbang untuk Indonesia justru berawal dari ketakutan Habibie akan pesawat pada masa Perang Dunia Kedua.

Ayahnya merupakan seorang ahli pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo keturunan Bugis sedangkan Ibunya berasal dari etnis Jawa.

Habibie memanglah anak yang berbeda dengan anak-anak kecil lain seusianya. Rasa ingin tahunya membuat Habibie selangkah lebih maju.

Karena rasa ingin tahu dan kekeraskepalaan Habibie, banyak konsep cara kerja benda dia pahami sebelum mendapatkan teori fisikanya.

Bila bermain adalah cara Habibie mendapatkan masalah, sekolah dan buku adalah cara dia mengakses jawaban dari permasalahan yang dihadapinya. Tapi karena fokusnya yang berbeda akhirnya Habibie menjadi anak yang bisa dianggap aneh, gagap dan hanya mau berurusan dengan apa yang dia suka saja. Oleh sebab itu ibunya sangat khawatir.

Habibie muda selalu bertanya akan suatu masalah kecil sekalipun, lalu berusaha mencari jawaban atas segala pertanyaan di kepalanya hingga ia menemukan jawaban yang tepat. Bila ia tidak menemukannya, ia akan selalu bertanya pada Papi-nya (Ayah).

Berbeda dengannya, Fanny (Kapten TNI Purn. Junus Effendi Habibie), adik sekaligus sahabat terdekatnya semasa kecil, yang merupakan anak yang bandel dan suka bermain.

Awalnya ia bersekolah di Concordante HBS, sekolah dengan mutu pendidikan terbaik disaat itu.

Namun, ketika kematian Papi-nya dan tutupnya sekolah membuatnya harus merantau sendirian ke Jakarta tak lama setelah peringatan 40 hari meninggalnya Ayahnya untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Habibie bersekolah di sekolah Internasional setingkat SMP dan SMA di depan Stasiun Kereta Api Gambir.

Nama sekolahnya Carpentier Alting Stichting (CAS). Sekolah terbaik di Jakarta pada saat itu. Karena tak betah, pada Desember 1950, Habibie bertolak ke Bandung.

Di Bandung ia bersekolah di sebuah SMA peralihan, lalu berkuliah ke Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Lalu dengan hasil yang memuaskan di ujian P-1 nya, ia pun bisa berangkat hingga ia pun bisa berkuliah di RWTH – Aachen, Jerman dan mengukir sejarah dengan tujuan untuk menjadi “Mata air” bagi bangsanya, yang telah menjadi cita-citanya sejak kecil.

Saat menempuh pendidikan di Jerman, tak serta merta membuat kehidupan yang dilalui BJ Habibie ( Rudy ) mulus. Berangkat dengan biaya sendiri, tanpa beasiswa membuat Habibie harus super amat ngirit selama di sana.

Agar menghemat uang yang memang pas-pasan, Habibie mengambil rumah murah di pinggir kota.

Di sana Habibie tinggal di rumah keluarga Neuefeiend di Frankenberg Str 16, Aachen. Kamar yang disewanya tak punya kamar mandi dan pemanas. Hanya ada wastafel, toilet untuk buang air kecil dan besar, tetapi tidak boleh dipakai untuk mandi.

Dia sering berada di perpustakaan hingga tempat itu tutup. Dia senang karena di sana hangat, bisa minum, dan kadang-kadang malah diberi apel oleh penjaga perpustakaan.

Ketika ia berada di jerman sebagai mahasiswa RWTH. Habibie berhasilan membuat pesawat terbang, ketika beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-19. (pesawat yang ada dalam foto di atas).

Orang-orang Jerman bertepuk tangan atas keberhasilan Habibie. Salah satu dari mereka berkata bahwa Habibie harus dipotret bersama pesawat itu.

Habibie menuruti saran itu. Dengan mata menatap tajam ke arah kamera, tangan kirinya memegang ekor pesawat, sementara yang kanan memegang kepala pesawat. Itu adalah salah satu hari yang dia terus ingat dalam hidupnya.

 

 

“Masa ini adalah bagian hidup yang menunjukkan bahwa orang besar tak serta merta besar karena dia memang genius sejak kecil, melainkan harus dibentuk oleh luka, kegagalan, serta kesalahan. Tumbuh memang tak melulu soal perayaan dan menjadi benar. Karena itulah setiap manusia bisa mempunyai kesempatan yang sama untuk jadi berguna.”

Pada Agustus 1955 Rudy sempat menyaksikan Bung Karno pidato pada saat kunjungannya ke Bonn.

Inti pidato itu, Bung Karno menekankan pentingnya kemandirian di sarana prasarana perhubungan di Indonesia.

Untuk menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dibutuhkan kapal untuk barang dan pesawat terbang untuk barang dan manusia.

Karena itu, sangat dibutuhkan teknisi dan sarjana yang memiliki keahlian di bidang perhubungan laut dan udara, sehingga mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Jerman memang diharapkan mampu membuat kapal dan pesawat sendiri untuk Indonesia ketika mereka pulang.

Karena tidak ingin membuang-buang waktu selama di sana, ketika teman-teman Indonesianya memilih untuk kerja praktik di Jerman demi menambah pengalaman dan mendapatkan honor, Habibie langsung mengikuti ujian Studienkollegs.

Akibatnya, Habibie menjadi satu-satunya calon mahasiswa dari Indonesia yang mengikuti ujian tersebut.

Hasil ujian Habibie ternyata mencengangkan, ia mendapatkan nilai hampir 10. Habibie kemudian terkenal sebagai mahasiswa yang qualified dan cerdas.

Habibie punya target bahwa dia harus bisa menyelesaikan kuliah setinggi-tingginya dalam waktu secepat-cepatnya.

Rata-rata mahasiswa Aachen membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk bisa lulus hingga jenjang S3 atau mendapat gelar Dr. Ing. pada saat itu.

Di Aachen Jerman, Habibie menjadi dekat dengan Lim Keng Kie, seorang keturunan Tionghoa. Ayu, seorang adik putri Keraton Solo. Poltak, pemuda Batak yang jujur dan jenaka. Dan Peter, seorang mahasiswa senior.

Namun demikian juga terdapat Ilona, mahasiswi keturunan Polandia yang sempat memberikan arti cinta kepada Rudy Habibie, meskipun beda negara, tetapi justru Ilona lah yang paling percaya pada cita-cita Habibie.

Karena tak mudah bagi Habibie untuk mendapat dan mencari seorang teman yang sepaham dan mau mendukungnya.


Ilona, Cinta Pertama yang Mengisi Hati Sang Visioner

“Foto habibie Bersama Ilona ketia berada di jerman”


Saat berada di jerman, ada sosok yang telah mengisi ruang di hati Habibie. Hati Sang Visioner telah di taklukan oleh seorang Wanita, Wanita itu Adalah Ilona. perempuan asal Polandia yang dikenal Habibie semasa menempuh pendidikan di Jerman.

Habibie terpesona pada Ilona sejak awal pertemuan mereka. Habibie muda yang karib disapa Rudy, mengenal Ilona dari keluarga Neuefeiend.

Ilona dan Habibie memulai kencan mereka dengan menonton bioskop. Mereka canggung dan bingung ketika akan memulai obrolan. Habibie menatap Ilona saat sedang menunggu bus. Rambutnya pendek dan tubuhnya lebih tinggi sedikit dibandingkan Habibie.

Ilona berkuliah D3 di Medical Technical Assistance. Meski berasal dari latar pendidikan berbeda, siapa sangka kalau Ilona adalah perempuan yang nyambung diajak bicara. Hal itu menimbulkan kekaguman tersendiri para Habibie. Matanya membulat. Dia belum pernah bertemu dengan gadis yang bisa hafal kutipan Goethe, penyair favoritnya.

Rudy bisa tertawa lebar saat bersama Ilona. Hal yang sangat jarang dia lakukan selama di Aachen. Dia juga merasa jarang sekali merasa sesenang ini. Mungkin Ilona bisa jadi kawan baiknya.

Memiliki latar belakang kewarganegaraan yang bertolak belakang, membuat Rudy dan Ilona tak pernah benar-benar membicarakan politik. Bersama Ilona, Rudy merasa memiliki kawan untuk menikmati dan mendalami kebudayaan Jerman, juga untuk bersenang-senang. Keakraban mereka makin terjalin karena dunia seni.

Mereka sering datang ke pesta. Kadang-kadang Rudy datang menjemput Ilona, tapi mereka juga sering langsung bertemu di tempat pesta. Mereka juga seirng nonton konser musik bersama. Mereka menghadiri konser karya klasik Eropa seperti Mozart, Tschaikowski, Beethoven, Verdi, Puchini, dan Chopin.

Rudy juga sering sekali mengajak Ilona menonton Opera. Awalnya Rudy datang sendiri. Namun sejak ada Ilona mereka datang bersama-sama.

Pada hari lainnya, kadang Rudy dan Ilona hanya piknik berdua sambil membahas puisi. Ilona sangat senang mendengar Rudy membaca puisi Den Erlenkonig karya Johann Wolfgang von Gothe, yang diterjemahkan menjadi Raja Mambang dalam Bahasa Indonesia.

Mata Ilona selalu berkaca-kaca setiap puisi itu selesai dibacakan. Rupanya, dia mengingat masa-masa peperangan di Polandia. Sedangkan bagi Rudy, puisi itu mengingatkan pada misteri kematian. Tak ada yang hidup tanpa kematian.

Sayangnya kedekatan Rudy dan Ilona tak disambut baik oleh kawan-kawan mahasiswa Indonesia.

Mahasiswa senior itu terus mencecar, bahkan menyingung masalah nasionalismenya. Bagi mereka, Rudy maupun calon pemimpin tak pantas beristerikan orang bule.

Rudy terdiam. Bukannya dia mau menikahi Ilona, tetapi dia memang tak pernah membahas soal Indonesia dengan Ilona.

Ketika Cinta Diuji Antara Politik dan Nasionalisme

Di awal tahun 60-an, kondisi mahasiswa Indonesia di Jerman sedikit memanas akibat situasi politik di Tanah Air. Beberapa kawannya yang tergabung di PPI Jerman ikut dalam kompleksnya gejolak politik.

Sedangkan dia sendiri memilih tenggelam dalam proyek Kugel-Raupe. Dia merasa bebas dari permasalahan politik. Hingga suatu ketika datang dua orang yang mengaku pegawai Departemen Pertahanan Jerman Barat.

Ternyata kedatangan mereka mengambil semua berkas penelitian S-3 yang sedang dikerjakannya. Orang-orang itu mengambil semua kertas berharga milik Rudy.

"Yang benar saja dong! Iu kan S-3 saya!" ucap Rudy.

"Rudy maaf. Tetapi uang penelitianmu kan atas nama negara. Sekarang yang kamu kerjakan itu adalah rahasia negara. Kamu tidak bisa melanjutkannya lagi," jelas Prof Ebner.

"Apa hubungannya? Ilmu kan tidak lihat asal negaranya!"

"Itu bagi kita, Rud! Tapi fakta politik tak peduli itu. Masalahnya sekarang negaramu bukan bagian dari NATO. Kamu dianggap ancaman untuk kerahasiaan negara ini."

Saat itu, Rudy tak bisa berkata apa-apa lagi. Ini efek kebijakan Nasakom dan anti-Barat, yang meyebabkannya dianggap musuh NATO.

Saat itu Rudy tak hanya melihat jerih payahnya selama 18 bulan yang diambil, tetapi juga sumpah dan jerih payah mami (ibunya) untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi, telah direnggut darinya.

Tahun itu adalah masa Rudy merasa paling berat. Lelah dan putus asa bercampur menjadi satu. Bertepatan dengan itu, tiba-tiba ada telepon dari agen perjalanan yang bilang kalau Rudy mendapat tiket pulang yang dipesan Mami dari Indonesia.

Salah satu sahabatnya, Romo Mangun menyarankan agar Rudy menenangkan diri dan pulang sementara ke Indonesia. Terlebih, sudah tujuh tahun Rudy tak kembali ke Tanah Air. Hingga kemudian dia mendapat cuti selama tiga bulan lamanya.

Ada yang lebih tragis setelah kejadian tersebut, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Ilona Minta Putus.

Rencana kepulanganya ke Indonesia mengharuskan Rudy menyelesaikan satu masalah lagi. Meski surat cuti sudah di tangan, bukan berarti Rudy bisa kembali dengan tenang. Ada masalah yang harus segera dia selesaikan, Ilona. Gadis yang menemaninya selama beberapa tahun belakangan ini.

Rudy tergerak untuk menemui Ilona di rumahnya. Namun, Ilona tak mau bertemu. Orang tuanya hanya bisa menyambut Rudy dengan hangat, hanya bisa menggelengkan kepala dan mengatakan kalau Ilona tidak ada.

Rudy penasaran, keesokan harinya, Rudy dengan setia menunggu Ilona. Baik di rumah Ilona, maupun di kampusnya. Ada satu pertanyaan yang menghantui Rudy, mengapa pertemanan dan kedekatan mereka bisa pudar begitu saja?

Rudy lalu mengikuti Ilona sampai sebuah pesta. Awalnya, Ilona tetap tak mau diajak bicara oleh Rudy. Hingga akhirnya, Rudy menyela seorang teman dansa Ilona.

Mereka bicara sambil berdansa. Ilona awalnya tak mau menatap Rudy. Musik berganti tempo dengan cepat lalu kembali lambat. Mau tak mau mereka saling menatap.

"Kamu kenapa sih, Ilona?" tanya Rudy.

"Kenapa apa? Kupikir semuanya sudah jelas" jawab Ilona.

"Maksud kamu?" tanya Rudy lagi.

Ilona mengerutkan kening, "Selama ini, ibumu tidak cerita?"

Rudy kebingungan dengan maksud omongan Ilona di tengah dansa. Sedangkan di benak Ilona sendiri, berputar pikiran yang sama keruhnya.

Selama ini mengira Rudy tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia memang tak mau membahasnya. Ilona ragu haruskah dia menceritakannya. Ilona memilih diam.

Mereka berdua berhenti berdansa. Rudy dan Ilona keluar dari pesta itu, dan berjalan ke tengah kota.

Mereka terkenang pada saat pertama kali jalan berdua dan membahas soal Goethe. Rudy lalu bercerita kalau dia akan pulang sebentar ke Indonesia. Cuma tiga bulan.

Ilona menggigit bibir. Perasaan perempuan memang seringkali lebih tajam dan lebih dulu benar. Dia tahu, kalau ini akan menjadi malam terakhir mereka bersama.

Ilona mengeluarkan sebuah surat yang dia bawa dan memberikannya pada Rudy. Surat dari Frankfurt, surat dari laki-laki yang dekat dengannya selama dia dan Rudy saling menjauh. Isi surat itu adalah undangan untuk Ilona agar ke Frankfurt untuk membicarakan hubungan mereka.

"Menurutmu bagaimana, Rud? Apakah aku harus pergi ke Frankfurt?"

Rudy melipat surat itu,"Terserah kamu." Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.

Mereka pun saling diam. Ilona dan Rudy sama-sama tahu, kalau jawaban yang ingin diucapkan Rudy silahkan pergi.

Mereka mengakhiri malam itu seperti saat pertama kali bertemu. Mereka berjabat tangan. Namun, kali ini artinya perpisahan. Mereka tahu kalau hati mereka sudah bukan milik satu sama lain lagi, bahkan mungkin tidak pernah memilih. Karena kalau hati sudah memilih, apa pun akan diperjuangkan.

 


Penulis Naskah dan Cerita : WALTFIN

Copyright © 2023 Muhammad Alfin Dwi Rizki Juniar. All Rights Reserved

Post a Comment

0 Comments