Ada yang mengatakan bahwa sejarah merupakan riwayat hidup orang-orang besar. Tidak selalu demikian, memang, akan tetapi sulit diingkari bahwa riwayat orang-orang besar itu sendiri merupakan sebagian (mungkin yang terbesar) dari grand narrative sejarah.
“Tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah." Jenderal Besar A.H. Nasution
Jenderal Besar A.H. Nasution adalah sosok yang tak mungkin
dilupakan oleh bangsa ini. Tokoh ini bisa tampil tegar, misalnya dalam
mengambil sikap ketika kekuatan komunis merajalela, tetapi Jenderal Abdulharis
Nasution juga bisa menitikkan air mata ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan
Revolusi di awal Oktober 1965.
Jenderal Abdulharis Nasution dikenal sebagai penggagas
Dwifungsi ABRI Konsep yang digagasnya telah menyimpang ke arah yang destruktif.
Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di
dalamnya) telah menafsirkan konsep itu dalam peran ganda militer yang sangat
represif dan eksesif.
Tentara tidak lagi menjadi pembela rakyat, tetapi bermain
dalam lapangan politik. Selain konsepsi dwifungsi ABRI, ia dikenal sebagai
peletak dasar perang gerilya.
Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang
fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai
bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara,
termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.
Abdul Haris Nasution lahir 3 Desember 1918, di Kotanopan,
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Anak petani ini bergelut di dunia militer
setelah sebelumnya sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang.
Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan
bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Selanjutnya, ia menjadi pembantu
letnan di Surabaya. Tahun 1942 ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan
Jepang di Surabaya.
Pasukannya bubar. Bersepeda, ia lari ke Bandung. Di kota ini
ia bekerja sebagai pegawai pamong praja. Tidak betah dengan pekerjaan sebagai
priyayi, tahun 1943 ia masuk militer lagi dan menjadi Wakil Komandan Barisan
Pelopor di Bandung.
Setelah Jepang kalah perang, Nasution bersama para pemuda
eks-Peta mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Karirnya langsung melesat dan Maret
1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi Ill/Priangan. Mei 1946, ia dilantik
Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi.
Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang
kedua setelah Jenderal Soedirman). Tapi, sebulan kemudian jabatan
"Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi
Markas Besar Angkatan Perang RI.
Pada tahun 1948 ia memimpin pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ia juga aktif menghalangi manuver-manuver PKI, antara lain menentang usul mempersenjatai buruh dan tani.
Di penghujung 1949, ia diangkat menjadi KSAD. Dalam Revolusi
Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, A.H. Nasution
betul betul mempelajari arti dukungan rakyat dalam suatu perang gerilya.
Dari sini lahir gagasannya tentang metode perang gerilya
sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya
setelah Pak Jenderal Abdulharis Nasution menjadi Panglima Komando Jawa pada
masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949). Ia menyusun Perintah Siasat No. I,
yang berisi “Juklak" tentang persiapan perang gerilya. Instruksi tersebut
kemudian dikenal sebagai Doktrin “Pertahanan Rakyat Total".
Doktrin itu sampai hari ini masih dianut militer Indonesia.
Pak Jenderal Abdulharis Nasution merupakan sosok yang bisa mengambil jarak
terhadap kekuasaan. Meski mengaku mengagumi Soekarno, ia tidak menyangkal kalau
sering terlibat kontflik dengan presiden pertama RI ini.
Perang dingin di antara keduanya muncul ketika ia tidak bisa
menerima intervensi politisi sipil dalam persoalan internal militer. Ia lalu
mengajukan petisi agar Bung Karno membubarkan Parlemen (Peristiwa 17 Oktober
1952).
Karena dianggap menekan Presiden akhirnya Pak Jenderal
Abdulharis Nasution dicopot dari jabatannya. Tapi, konflik internal AD tak
kunjung reda, sehingga tahun 1955 Bung Karno memberikan lagi jabatan yang sama.
Hubungan keduanya pun mulai membaik. Bahkan KSAD jadi co-formateur
dalam pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Selanjutnya, giliran Pak Abdulharis
Nasution yang menyeberang ke pentas politik.
Tahun 1957, terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, Bung Karno
menyatakan SOB (negara dalam keadaan perang). Ia ditunjuk sebagai Penguasa
Perang Pusat dan pemberontakan bisa dipatahkan dengan cepat. Tapi, di konstituante,
para anggota parlemen terus berdebat tentang UUD baru.
Pertengahan 1959, perdebatan menjurus pada perpecahan.
Sebagai Penguasa Perang, Pak Abdulharis Nasution mengajukan gagasan pada Bung
Karno untuk "kembali ke UUD 1945".
Tangga 5 Juli 1959, keluarlah Dekrit Presiden yang
bersejarah itu. Tapi bulan madunya dengan Soekarno tidak berlangsung lama.
Sejak awa 1960-an, hubungan kedua tokoh itu mulai renggang.
Ia tak bisa menerima sikap Bung Karno yang dekat dengan PKI. Pertentangan
antara keduanya akhimya menjadi rivalitas terbuka pasca peristiwa G 30 S.
Pak Abdulharis Nasution bekerjasama dengan Pangkostrad
Mayjen Soeharto, menumpas habis PKI. Bung Karno tidak mau "menyalahkan PKI”.
Akhirnya Pemimpin Besar Revolusi itu pun terguling. Nasution
nyaris menjadi korban G 30 S. Namanya termasuk dalam daftar penculikan.
Beruntung, ia dapat lolos dari kepungan, walaupun kehilangan puterinya, Ade
Irma Suryani. Pak Abdulharis Nasution memang sosok yang berani terang-terangan
menentang komunis.
Awal pemerintahan Orde Baru, Pak Abdulharis Nasution sempat
berperan. Semula, beberapa tokoh AD, seperti Kemal ldris, H.R.Dharsono, dan
Sarwo Edi, mendesaknya untuk menjadi presiden. Tetapi, Pak Abdulharis Nasution hanya
menjadi Ketua MPRS.
Tahun 1968, lewat keputusannya, MPRS mengangkat Soeharto
menjadi presiden. Kemesraan Nasution-Soeharto juga tidak lama. Setelah Soeharto
berkuasa, Nasution malah disingkirkan.
Keterlibatannya dalam Petisi 50 dianggap sebagai biang
keladinya. Puncaknya, 1972, setelah 13 tahun memimpin angkatan bersenjata,
Nasution dipensiunkan dini dari dinas militer. Sejak saat itu Nasution
tersingkir dari panggung politik.
Dalam masa tuanya, Pak Nasution sempat dibelit persoalan
hidup. Rumahnya di JI. Teuku Umar Jakarta, tampak kusam dan tidak pernah
direnovasi. Secara misterius pasokan air bersih ke rumahnya terputus, tak lama
setelah Pak Nasution pensiun.
Namun, setelah 21 tahun dikucilkan, tiba-tiba Nasution
dirangkul lagi oleh Soeharto. Tanggal 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari
ABRI, prajurit tua yang dikenal taat beribadah itu dianugerahi pangkat Jenderal
Besar bintang lima. Selain Nasution, ada dua jenderal yang menyandang bintang
lima sepanjang sejarah RI, yaitu Soedirman dan Soeharto.
Jenderal Abdul Haris Nasution tutup usia di RS. Gatot
Soebroto, pukul 07.30 WIB, pada tanggal 6 September 2000.
Penulis Naskah dan Cerita : WALTFIN
Copyright © 2023 Muhammad Alfin Dwi Rizki Juniar. All Rights Reserved
0 Comments